BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Sumber
daya manusia yang berkualitas merupakan hal yang penting bagi suatu negara
untuk menjadi negara maju, kuat, makmur dan sejahtera. Upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia tidak bisa terpisah dengan masalah pendidikan
bangsa. Menurut Mulyasa (2006:3) ”Setidaknya terdapat tiga syarat utama yang
harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi
terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SMAM) yakni: (1) sarana
gedung, (2) buku yang berkualitas,
(3) guru dan tenaga kependidikan yang yang professional.
(3) guru dan tenaga kependidikan yang yang professional.
Guru
memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah.
Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan
tujuan hidupnya secara optimal. Di dalam kelas guru malaksanakan dua kegiatan
pokok yaitu kegiatan mengajar dan kegiatan mengelola kelas. Kegiatan mengajar
pada hakikatnya adalah proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di
sekitar siswa. Semua komponen pengajaran yang meliputi tujuan, bahan pelajaran,
kegiatan belajar-mengajar, metode, alat dan sumber, serta evaluasi diperankan
secara optimal guna mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan sebelum
pengajaran dilaksanakan.
Pengelolaan
kelas tidak hanya berupa pengaturan kelas, fasilitas fisik dan rutinitas.
Kegiatan pengelolaan kelas dimaksudkan untuk menciptakan dan mempertahankan
suasana dan kondisi kelas. Sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung
secara efektif dan efisien. Misalnya memberi penguatan, mengembangkan hubungan
guru dengan siswa dan membuat aturan kelompok yang produktif.
Di
kelaslah segala aspek pendidikan pengajaran bertemu dan berproses. Guru dengan
segala kemampuannya, siswa dengan segala latar belakang dan sifat-sifat individualnya.
Kurikulum dengan segala komponennya, dan materi serta sumber pelajaran dengan
segala pokok bahasanya bertemu dan berpadu dan berinteraksi di kelas. Bahkan
hasil dari pendidikan dan pengajaran sangat ditentukan oleh apa yang terjadi di
kelas. Oleh sebab itu sudah selayaknyalah kelas dikelola dengan bagi,
professional, dan harus terus-menerus.
Guru
harus memiliki, memahami dan terampil dalam menggunakan macam-macam pendekatan
dalam manajemen kelas, meskipun tidak semua pendekatan yang dipahami dan dimilikinya
dipergunakan bersamaan atau sekailgus. Dalam hal ini, guru dituntut untuk
terampil memilih atau bahkan memadukan pendekatan yang menyakinkan untuk
menangani kasus manajemen kelas yang tepat dengan masalah yang dihadapi.
Oleh
karena hal di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai salah satu
pendekatan dalam manajemen kelas yaitu pendekatan instruksional dan
pengaplikasiannya pada jenjang Sekolah Menengah Atas.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana peranan guru dalam pengembangan kurikulum?
2.
Bagaimanakah pendekatan instruksional dalam menejemen kelas?
3.
Bagaimanakah aplikasi pendekatan instruksional pada Sekolah Menengah Atas (SMA)?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui peranan guru dalam pengembangan kurikulum
2.
Mengetahui pendekatan instruksional dalam menejemen kelas
3.
Mengetahui aplikasi pendekatan instruksional pada Sekolah Menengah Atas (SMA)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Bagaimana peranan guru dalam pengembangan kurikulum
Kurikulum memiliki dua sisi yang sama penting,
yaitu kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai implementasi. Sebagai
sebuah dokumen kurikulum berfungsi sebagai pedoman bagi guru dan kurikulum
sebagai implementasi merupakan realisasi dari dokumen dalam bentuk kegiatan
pembelajaran di kelas. Keduanya merupakan dua hal yang tak terpisahkan, ada
kurikulum berarti ada pembelajaran, dan sebaliknya ada pembelajaran ada
kurikulum.
Implementasi
kurikulum memerlukan seseorang yang berperan sebagai pelaksananya. Guru
merupakan factor penting dalam implementasi kurikulum karena ia merupakan
pelaksana kurikulum. Karena itu guru dituntut memiliki kemampuan untuk
mengimplemntasikannya, tanpa itu Kurikulum tidak akan bermakna sebagai alat
pendidikan, dan sebaliknya pembelajaran tidak akan efektif tanapa kurikulum
sebagai pedoman. Dengan demikian guru menempati posisi kunci dalam implementasi
kurikulum.
Selanjutnya dalam proses pengembangan kurikulum
peran guru lebih banyak dalam tataran kelas. Murray Print (1993) mengemukakan
peran guru dalam tingkatan tersebut sebagai berikut :
1.
Sebagai
implementer, guru berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Di
sini guru hanya menerima berbagai kebijakan perumus kurikulum. Guru tidak
memiliki kesempatan baik untuk menentukan isi kurikulum maupun menentukan
target kurikulum. Peran guru hanya sebatas menjalankan kurikulum yang telah
disusun. Peran ini pernah dilaksanakan di Indonesia yaitu sebelum reformasi,
yaitu guru sebagai implementator kebijakan kurikulum yang disusun secara
terpusat, dituangkan dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Dalam
GBPP yang berbentuk matrik telah ditentukan dari mulai tujuan yang harus
dicapai, materi pelajaran yang harus disampaikan, cara yang harus dilakukan,
hingga alokasi waktu pelaksanaan. Dalam pengembangan kurikulum guru dianggap
sebagai tenaga teknis yang hanya bertanggung jawab dalam mengimplementasikan
berbagai ketetntuan yang ada. Kurikulum bersifat seragam, sehingga apa yang
dilakukan guru di Indonesia bagian timur sama dengan apa yang dilakukan guru di
Indonesia bagian barat. Dengan terbatasnya peran guru di sini, maka kreatifitas
guru dan inovasi guru dalam merekayasa pembelajaran tidak berkembang. Guru
tidak ada motivasi untuk melakukan berbagai pembaruan. Mengajar mereka anggap
sebagai tugas rutin dan keseharian, dan bukan sebagai tugas profesional.
2.
Pada peran
ini guru memiliki peran lebih dari sekedar pelaksana kurikulum, tetapi sebagai
penyelaras kurikulum dengan karakteristik dan dan kebutuhan siswa dan kebutuhan
daerah. Guru diberikan kewenangan untuk mnyesuaikan kurikuum dengan kebutuhan
daerah ataupun karakteristik sekolah. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang sekarang dikembangkan di Indonesia, terdapat peran guru dalam fase
ini, yaitu bahwa para perancang kurikulum hanya menentukan standar isi sebagai
standar minimal yang harus dicapai, bagaimana implementasinya, kapan waktunya,
dan hal-hal teknis lainnya ditentukan oeh guru. Dengan demikian peran guru
sebagai adapter lebih luas dibandingkan dengan peran sebagai implementer.
3.
Dalam
tingkat ini guru berperan sebagai pengembang kurikulum, guru memiliki
kewenangan dalam mendesain sebuah kurikulum. Guru tidak hanya bisa menentukan
tujuan dan isi pelajaran yang akan disampaikan, tetapi bahkan dapat menentukan
strategi apa yang harus dikembangkan dan system evaluasi apa yang akan
digunakannya. Sebagai pengembang kurikulum guru sepenuhnya dapat menyusun
kurikulum sesuai dengan karakteristik, misi dan visi sekolah/madrasah, serta
sesuai dengan pengalaman belajar ayang diperlukan anak didik. Dalam KTSP peran
ini dapat dilihat dalam pengembangan kurikulum muatan lokal. Dalam pengembangan
kurikulum muatan lokal, sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing satuan
pendidikan, karena itu kurikulum yang berkembang dapat berbeda antara lembaga
yang satu dengan lembaga yang lainnya.
4.
Fase
terakhir adalah peran guru sebagai peneliti kurikulum (curriculum researcher).
Peran ini dilaksanakan sebagai bagian dari tugas professional gurub yang
memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dala mperan
ini guru memiliki tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen kurikulum,
misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektivitas program, strategi
maupun model pembelajaran, termasuk mengumpulkan data tenatang keberhasilan
siswa mencapai target kurikulum. Salah satu metode yang dianjurkan dalam
penelitian adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yakni metode
peneitian yang berangkat dari masaah ayang dihadapi guru dalam implementasi
kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif melakukan penelitian sekaligus melaksanakan
tindakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, PTK merupakan
salah satu metode yang tidak hanya menambah wawasan guru dan menambah
profesionalismenya, tetapi secara terus-menerus dapat meningkatkan kualitaskinerjanya.
2.2
Definisi Pendekatan Instruksional
Pendekatan
instruksional adalah pendekatan yang berdasarkan kepada pendirian bahwa
pengajaran yang dirancang dan dilaksanakan dengan cermat akan mencegah sebagian
besar masalah manajerial kelas. Pendekatan ini berpendapat bahwa manajerial
yang efektif adalah hasil dari perencanaan pengajaran yang bermutu. Dengan
demikian peranan guru adalah merencanakan dengan teliti pelajaran yang baik,
kegiatan belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan setiap peserta
didik.
Para
penganjur pendekatan instruksional dalam manajemen kelas cenderung memandang
perilaku instruksional guru mempunyai potensi mencapai dua tujuan utama
manajemen kelas. Tujuan itu adalah:
1)
Mencegah timbulnya masalah manajerial,
2)
Memecahkan masalah manajerial kelas.
Cukup
banyak contoh yang membuktikan bahwa kegiatan belajar-mengajar yang
direncanakan dan dilaksanakan dengan baik adalah merupakan faktor utama dalam
pencegahan timbulnya masalah manajemen kelas. Sebaliknya banyak kenyataan yang
mendukung pendirian bahwa kegiatan belajar-mengajaryang direncanakan dan
dilaksanakan dengan tidak baik adalah penyebab utama timbulnya masalah
manajemen kelas. Oleh karena itu, para pengembang pendekatan instruksional
menyarankan guru dalam mengembangkan strategi manajemen kelas harus
memperhatikan hal-hal berikut:
1)
Menyampaikan kurikulum dan pelajaran yang menarik, relevan, dan sesuai
2)
Menerapkan kegiatan yang efektif
3)
Menyediakan daftara kegiatan rutin kelas
4)
Memberikan pengarahan yang jelas
5)
Menggunakan dorongan yang bermakna
6)
Memberikan bantuan mengatasi rintangan
7)
Merencanakan perubahan lingkungan
8)
Mengatur kembali struktur situasi
Menyampaikan
kurikulum, pelajaran yang menarik, relavan dan sesuai secara empiris dianggap
sebagai penanggal perilakau menyimpang para peserta didik didalam kelas. Di
samping itu, penelitian-penelitian menemukan bukti-bukti bahwa kunci
keberhasilan manajemen kelas ialah kemampuan guru mempersiapkan dan
menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar. Hal ini akan mncegah perhatian yang
kurang, kebosanan, perilaku menyimpang. Guru yang berhasil ialah guru yang
menyajikan pelajaran yang disiapkan dengan baik, yang berlangsung dengan
lancar, dan dengan tempo yang baik, tepat dan jelas arahnya, memberikan
kegiatan yang sesuai dengan kemampuan dan minat peserta didik.
Menerapkan
kegiatan yang efektif adalah kemampuan guru mengatur arus dan tempo kegiatan
kelas oleh banyak orang sehingga mencegah peserta didik melalaikan tugasnya.
Kegiatan guru yang meloncat-loncat (mendesak, tergantung, terputus, berubah
arah), bertele-tele, dan terpisah-pisah adalah kegiatan-kegiatan yang tidak
efektif, dan akan mengundang peserta didik untuk menyimpang.
Menetapkan
kegiatan rutin kelas adalah kegiatan sehari-hari yang perlu dipahami dan
dilakukan oleh peserta didik. Informasi kegiatan ini disampaikan guru pada awal
pertemuan dengan peserta didik di kelas. Penjelasan secukupnya mengenai harapan
guru yang berkaitan dengan kegiatan rutin kelas merupakan langkah yang
menentukan efektivitas manajemen kelas dan pengembangan kelas yang produktif.
Proses ini membatasi kemungkinan timbulnya masalah manajemen kelas seminimal
mungkin.
Memberikan
pengarahan yang jelas adalah kegiatan mengkomunikasikan harapan-harapan yang
diinginkan guru. Instruksi yang jelas, sederhana, ringkas, tepat sasaran,
sistematis akan membantu efektivitas manajemen kelas sehingga masalah-masalah
menyimpang yang disebabkan oleh pengarahan yang buruk dapat dihindari.
Memberikan
dorongan yang bermakana adalah suatu proses dimana guru berusaha menunjukan
minat yang sungguh-sungguh terhadap perilaku peserta didik yang menunjukan
tanda-tanda kebosanan dan keresahan. Kegiatannya misalnya, guru dapat mendekati
peserta didik, memeriksa pekerjaannya, memberikan penghargaan pada usahanya,
dan memberikan saran-saran perbaikan lebih lanjut. Dengan cara ini guru
membantu peserta didik meneruskan aktifitasnya dan mencegah timbulnya perilaku
menyimpang.
Memberikan
bantuan mengatasi rintangan adalah bentuk pertolongan yang diberikan guru untuk
membantu peserta didik menghadapi persoalan yang mematahkan semangat, pada saat
mereka benar-benar memerlukannya. Proses bantuan dilaksanakan sebelum situasi
berkembang hingga tidak dapat dikuasai. Bantuan mengatasi rintangan ini adalah
cara yang sangat bermanfaat untuk mencegah perilaku mengganggu.
Merencanakan
perubahan lingkungan adalah proses mempersiapkan kelas atau lingkungan dalam
menghadapi perubahan-perubahan situasi. Misalnya, peserta didik harus disiapkan
atas kemungkinan guru tidak dapat hadir selama beberapa hari dan akan
digantikan oleh guru lain. Perencanaan yang disiapkan sebelumnya akan membantu
peserta didik memahami hal itu dan akan brperilakau sesuai yang direncanakan
guru. Dengan demikian, timbulnya masalah manajemen kelas dapat dicegah sejak
dini.
Merencanakan
dan mengubah lingkungan kelas adalah proses penciptaan lingkungan yang
menyenangkan dan tertib. Kegiatan ini dimaksudkan memaksimalkan pruduktifitas
dan meminimalkan perilaku menyimpang, dan dirancang dengan baik. Merencanakan
dan mengubah lingkungan kelas diperlukan untuk mencegah atau mengurangi
jenis-jenis perilaku tertentu yang tidak diinginkan.
Mengatur
kembali struktur situasi adalah strategi manajerial kelas dalam memulai suatu
kegiatan atau mengerjakan tugas dengan cara yang lain cara yang berbeda.
Mengubah sifat kegiatan, mengubah sifat perhatian, atau menggunakan cara baru
untuk mengerjakan hal-hal lama akan efektif mencegah timbulnya masalah
manajarial kelas, khusunya yang bersumber pada perasaan bosan.
2.3
Prinsip-Prinsip Intruksional
Prinsip-prinsip
yang digunakan dalam pengembangan instruksional dapat dikelompokan menjadi dua
belas macam (Filbeck, 974:9-17) sebagai berikut:
1.
Respon-respon baru (new responses) diulang sebagai akibat dari respon tersebut.
Bila respon itu berakibat menyenangkan, siswa cenderung untuk mengulang respon
tersebut karena ingin memelihara akibat yang menyenangkan. Bila akibat respon
itu kurang menyenangkan, siswa cenderung mencari jalan yang dapat mengurangi
rasa tidak menyenangkan tersebut dengan cara menghindari respon yang sama atau
melakukan perilaku (behavior) yang lain.
2.
Perilaku tidak hanya dikontrol oleh akibat dari respon, tetapi juga dibawah
pengaruh kondisi atau tanda-tanda yang terdapat dalam lingkungan siswa. kondisi
atau tanda-tanda tersebut berbentuk tulisan, gambar, komunikasi verbal,
keteladanan guru, atau perilaku sesama siswa.
3.
Perilaku yang ditimbulkan oleh tanda-tanda tertentu akan hilang atau berkurang
frekuensinya bila tidak diperkuat dengan pemberian akibat yang menyenangkan.
Karena itu pengetahuan dan keterampilan baru yang telah dikuasai siswa harus
sering dimunculkan dan diberi akibat yang menyenangkan agar keterampilan baru
itu selalu digunakan.
4.
Belajar yang berbentuk respon terhadap tanda-tanda yang terbatas akan
ditransfer kepada situasi lain yang terbatas pula.
5.
Belajar mengeneralisasikan dan membedakan adalah dasar untuk belajar sesuatu
yang kompleks seperti pemecahan masalah.
6.
Status mental siswa untuk menghadapi pelajaran akan mempengaruhi perhatian dan
ketekunan siswa selama proses belajar.
7.
Kegiatan belajar yang dibagi menjadi langkah-langkah kecil dan disertai umpan
balik untuk penyelesaian setiap langkah akan membantu sebagian besar siswa.
8.
Kebutuhan memecahkan materi pelajaran yang kompleks menjadi kegiatan-kegiatan
kecil akan dapat dikurangi bila materi belajar yang kompleks itu dapat
diwujudkan dalam suatu model.
9.
Keterampilan tingkat tinggi seperti keterampilan memecahkan masalah adalah
perilaku kompleks yang terbentuk dari komposisi keterampilan dasar yang lebih
sederhana.
10.
Belajar cenderung lebih cepat dan efisien serta menyenangkan bila siswa diberi
informasi bahwa menjadi lebih mampu dalam keterampilan memecahkan masalah.
Orang cenderung belajar lebih cepat bila diberi informasi tentang kualitas
penampilannya dan bagaimana cara meningkatkannya lebih baik.
11.
Perkembangan dan kecepatan belajar siswa bervariasi, ada yang maju dengan
cepat, ada yang lebih lambat. Variasi dalam kecepatan belajar itu tidak selalu
dapat diramalkan. Hasil tes intelegensi, gaya kognitif, dan minat atau sikap
untuk belajar tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap variasi
tersebut.
12.
Dengan persiapan, siswa dapat mengembangkan kemampuan mengorganisasikan
kegiatan belajarnya sendiri dan menimbulkan umpan balik bagi dirinya untuk
merespon yang benar.
2.4
Metode Instruksional
Salah
satu komponen utama pada strategi instruksional di luar urutan kegiatan
instruksional adalah metode instruksional. Metode instruksional berfungsi
sebagai cara dalam menyajikan (menguraikan, memberi contoh, dan memberi
latihan) isi pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan tertentu. Berbagai
metode berikut ini biasanya digunakan pengajar dalam kegiatan instruksional.
1.
Metode ceramah (Lecture)
Sumantri
dan Permana (l998/l999) menyatakan bahwa metode ceramah adalah cara mengajar
yang paling popular dan banyak dilakukan oleh guru. Hal ini karena metode
ceramah mudah disajikan dan tidak banyak memerlukan media. Metode ceramah
adalah penyajian pelajaran oleh guru dengan cara memberikan penjelasan secara
lisan kepada siswa. Penggunaan metode ceramah sangat tergantung pada kemampuan
guru. Penguasaan guru terhadap materi pelajaran, kemampuan berbahasa, intonasi
suara, penggunaan media, dan variasi gaya mengajar lainnya sangat menentukan
keberhasilan metode ini.
2.
Metode Demonstrasi
Sanjaya
(2006), dan Sumantri dan Permana (1998/1999) mengemukakan bahwa demonstrasi
adalah cara penyajian pelajaran dengan memperagakan dan mempertunjukkan pada
siswa tentang suatu proses, situasi atau benda tertentu yang sedang dipelajari
baik dalam bentuk sebenarnya maupun dalam bentuk tiruan yang dipertunjukkan
oleh guru atau sumber belajar lain yang ahli dalam topik bahasan yang harus
didemonstrasikan.
3.
Metode Tanya Jawab
Metode
tanya jawab adalah cara penyampaian suatu pelajaran melalui interaksi dua arah
dari guru kepada siswa atau dari siswa kepada guru agar diperoleh jawaban
kepastian materi melalui jawaban lisan guru atau siswa. Dalam metode tanya
jawab, guru dan siswa sama-sama aktif. Siswa dituntut untuk aktif agar mereka
tidak tergantung pada keaktifan guru. Rasa ingin tahu anak usia SMA harus
ditumbuh-suburkan agar ia menjadi manusia yang kreatif. Untuk itu guru harus
menguasai keterampilan bertanya dan juga harus mempunyai semangat yang tinggi
didalam menciptakan situasi yang kondusif bagi terlaksananya tanya jawab yang
mendidik.
4.
Metode Diskusi
Sanjaya
(2006), dan Sumantri dan Permana (1998/1999) menyatakan bahwa metode diskusi
diartikan sebagai siasat untuk menyampaikan bahan pelajaran yang melibatkan
siswa secara aktif untuk membicarakan dan menemukan alternatif pemecahan suatu
topik bahasan yang bersifat problematis. Dalam percakapan itu para pembicara
tidak boleh menyimpang dari pokok pembicaraan yaitu masalah yang ingin dicarikan
alternatif pemecahannya. Dalam diskusi ini guru berperan sebagai pemimpin
diskusi, atau guru dapat mendelegasikan tugas sebagai pemimpin itu kepada
siswa, walaupun demikian guru masih harus mengawasi pelaksanaan diskusi yang
dipimpin oleh siswa itu. Pendelegasian itu terjadi kalau siswa dalam kelas
dibagi menjadi beberapa kelompok diskusi. Pemimpin Diskusi harus mengorganisir
kelompok yang dipimpinnya agar setiap anggota diskusi dapat berpartisipasi
secara aktif.
5.
Metode Studi Mandiri
Berbentuk
pelaksanaan tugas membaca atau penelitian oleh siswa tanpa bimbingan atau
pengajaran khusus.
6.
Metode Instruksional terprogram
Metode
ini menggunakan bahan instruksional yang disiapkan secara khusus. Isi pelajaran
didalamnya harus dipecah menjadi langkah-langkah kecil, diurut dengan cermat,
diarahkan untuk mengurangi kesalahan, dan diikuti umpan balik dengan segera.
7.
Metode Latihan dengan Teman
Metode
ini memanfaatkan seorang siswa yang telah lulus dalam latihan tertentu untuk
bertindak sebagai pelatih bagi siswa yang lain.
8.
Metode Simulasi
Abimanyu
dan Purwant (1980), Sumantri dan Permana (l998/l999) menyatakan bahwa metode
pembelajaran digunakan untuk menirukan keadaan sebenarnya kedalam situasi
buatan, misalnya seorang guru mensimulasikan bagaimana cara melompat tinggi
dengan gaya panggung atau bagaimana seorang penatar P4 mensimulasikan kehidupan
masyarakat Pancasila, dimana setiap peserta penataran ada yang berperan sebagai
lurah/RW/RT dan anggota masyarakat yang kesemuanya berperan secara
sungguh-sungguh seperti yang dialami dalam kehidupan sosial di kelurahan itu.
9.
Metode Sumbang Pendapat (Brain Storming)
Merupakan
proses penampungan pendapat dari siswa tanpa evaluasi terhdap kualitas
pendidikan.
10.
Metode Studi Kasus
Berbentuk
penjelasn masalah kejadian, atau situasi tertentu, kemudian siswa ditugaskan
mencari alternative pemecahannya.
11.
Metode Computer Assisted Learning (CAL)
Metode
ini berbentuk seri kegiatan belajar yang sangat berstruktur dengan menggunakan
computer. Isi pelajaran dimunculkan oleh computer dalam bentuk masalah.
12.
Metode Insiden
Metode
ini merupakan variasi dari metode studi kasusu. Siswa diberi data besar yang
tidak lengkap tentang suatu peristiwa atau masalah.
13.
Metode Eksperimen
Sagala
(2006), Sumantri dan Permana (1998/1999) menyatakan bahwa eksperimen adalah
percobaan untuk membuktikan suatu pertanyaan atau hipotesis tertentu.
Eksperimen dapat dilakukan pada suatu laboratorium atau diluar laboratorium.
Sedangkan metode eksperimen dalam pembelajaran adalah cara penyajian bahan
pelajaran yang memungkinkan siswa melakukan percobaan untuk membuktikan sendiri
suatu pertanyaan atau hipotesis yang dipelajari.
14.
Metode Proyek (Pemberian Tugas)
Sagala
(2006) mengemukakan bahwa metode pemberian tugas adalah cara penyajian bahan
pelajaran dengan cara memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan
belajar, dan kemudian hasil pelaksanaan tugas itu dilaporkan kepada guru.
15.
Metode Bermain Peran
Metode
ini berbentuk interaksi antara dua atau lebih siswa tentang suatu topik atau
situasi.
16.
Metode Seminar
Metode
ini berbentuk kegiatan belajar bagi sekelompok siswa untuk membahas atau
masalah tertentu. Setiap anggota seminar diharapkan berpartisipasi.
17.
Metode Simposium
Metode
ini mengetengahkan suatu isi ceramah mengenai berbagai kelompok topik bidang
tertentu. Ceramah tersebut diberikan oleh beberapa ahli.
18.
Metode Tutorial
Metode
ini berbentuk pemberian bahan belajar yang telah dikembangkan untuk mempelajari
siswa secara mandiri dan kesempatan berkonsultasi secara periodik tentang
kemajuan dan masalah yang dialaminya.
19.
Metode Deduktif
Metode
ini dimulai dengan pemberian penjelasan tentang prinsip-prinsip isi pelajaran,
kemudian disusul dengan penerapannya atau contoh-contohnya pada situasi
tertentu. Metode ini bergerak dari yang bersifat umum ke yang bersifat khusuu.
20.
Metode Induktif (Discovery)
Sund
(dalam Kartawisastra, 1980) berpendapat bahwa penemuan adalah proses mental
dimana siswa mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Sedangkan inquiry
(inkuiri) menurut Sund meliputi juga penemuan. Dengan kata lain, inkuiri adalah
perluasan proses penemuan yang digunakan lebih mendalam. Artinya proses inkuiri
mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya : merumuskan
masalah, merancang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan data,
menganalisis data,menarik kesimpulan, dan sebagainya. Akhirnya Sund berpendapat
bahwa penggunaan metode penemuan baik untuk siswa kelas rendah, sedangkan
inkuiri baik untuk kelas tinggi.
2.4
Aplikasi Pendekatan Instruksional Kepada Siswa SMA
Pendekatan
instruksional pada dasarnya dirancang untuk memecahkan masalah-masalah yang ada
dalam siswa. Ini berarti tujuan-tujuan instruksional yang hendak dicapai
melalui model sistem instruksional yang dirancang harus sesuai dengan need
(kebutuhan) siswa, berarti wewenang untuk menentukan tujuan (sistem) adalah
siswa; wewenang untuk mengembangkan rancangan instruksional (sistem
instruksional) adalah ahli pendidikan. Maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan
analisis siswa, pengguna lulusan dan lingkungan mutlak dilaksanakan dalam
pengembangan rancangan sistem instruksional.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Seorang
guru adalah tenaga profesional yang berperan sebagai pengelola aktivitas yang
harus bekerja berdasarkan pada kerangka acuan pendekatan manajemen kelas. Guru
harus memiliki, memahami dan terampil dalam menggunakan bermacam-macam
pendekatan dalam manajemen kelas supaya bisa menyesuaikan sehingga dapat
mengangani kasus manajemen kelas yang tepat dengan masalah yang dihadapinya.
Pendekatan
instruksional pada dasarnya dirancang untuk memecahkan masalah-masalah yang ada
dalam siswa. Ini berarti tujuan-tujuan instruksional yang hendak dicapai
melalui model sistem instruksional yang dirancang harus sesuai dengan need
(kebutuhan) siswa, berarti wewenang untuk menentukan tujuan (sistem) adalah
siswa; wewenang untuk mengembangkan rancangan instruksional (sistem
instruksional) adalah ahli pendidikan. Maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan
analisis siswa, pengguna lulusan dan lingkungan mutlak dilaksanakan dalam pengembangan
rancangan sistem instruksional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar